Selasa, 01 Agustus 2017
Kamis, 27 Juli 2017
Jumat, 07 Juli 2017
Menjelajahi Kawasan Kepurbakalaan di Sidoarjo
Wisata Situs dan Cagar Budaya
Sejarah merupakan kisah–kisah masa lalu yang bersinar kebenarannya. Kisah yang bisa diambil intisarinya dan pesan–pesan yang tersurat maupun tersirat di dalamnya. Setiap daerah pastilah mempunyai sejarah yang berbeda-beda. Demikian pula dengan Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo
adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibu kotanya adalah
Sidoarjo. Dulu dikenal sebagai pusat Kerajaan Janggala dan merupakan
wilayah dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Jenggala adalah salah satu dari dua
pecahan kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga dari Wangsa Isyana. Kerajaan ini berdiri tahun 1042, dan berakhir sekitar tahun 1130-an.
Sedangkan Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan
Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya (1293 M). Kerajaan ini mencapai
puncak kejayaannya pada abad ke-14 yaitu pada masa kekuasaan Hayam Wuruk
(1350-1389 M) yang didampingi oleh Patih Gadjah Mada (1331-1364 M). Kerajaan
Majapahit adalah kerajaan Hindu terakhir. Jadi di Sidoarjo banyak sekali candi,
prasasti dan tempat-tempat peninggalan dari Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Majapahit. Tempat-tempat peninggalan sejarah yang tersebar di Sidoarjo umumnya
terletak di sekitar rumah penduduk. Banyak peninggalan sejarah tersebut rusak
dimakan usia. Tapi untungnya masih ada juru pelihara yang mau merawat dan
menjaga cagar budaya itu. Candi-candi di Sidoarjo Banyak menggunakan susunan batu merah besar. Dominasi batu merah besar merupakan ciri khas Jenggala dan
Majapahit.
1. Candi Pari
Candi Pari merupakan sebuah peninggalan Masa Klasik Sidoarjo, Candi Pari ini berlokasi di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Candi tersebut berada sekitar 2 km ke arah barat laut pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas saat ini. Candi ini berada Candi ini merupakan suatu bangunan persegi empat dari batu bata, menghadap ke barat dengan ambang serta tutup gerbang dari batu andesit. Dahulu, di atas gerbang ada batu dengan angka tahun 1293 Saka = 1371 Masehi. Merupakan peninggalan zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk 1350-1389 M. Menurut Laporan J. Knebel dalam “Rapporten Van De Comissie In Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek Op Java en Madoera” 1905-1906 Candi Pari dan Candi Sumur dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat/adik angkat dari salah satu putra Prabu Brawijaya dan istrinya yang menolak tinggal di keraton Majapahit di kala itu.
Candi Pari ini memiliki tinggi 15,40 meter, panjang 16 meter dan lebar 14,10 meter. Candi Pari bisa dibilang masih memiliki bentuk yang utuh, kaki dan badan candi masih ada hanya sebagain atap candi sudah tidak ada. Candi Pari minim sekali akan hiasan atau relief. Hiasan yang ada hanya miniatur candi yang menjorok keluar dari badan candi. Di atas miniatur candi ini terdapat hiasan berupa teratai. Di kanan-kiri miniatur candi ini terdapat lubang angin yang langsung tembus ke dalam bilik candi. Pada bagian atap candi sebenarnya ada hiasan binatang, namun sekarang sudah dalam kondisi yang aus. Keunikan lainnya mengenai Candi Pari selain bentuknya yang tambun adalah tangga pintu masuk. Jika candi-candi lainnya memiliki tangga masuk yang langsung menuju bilik candi, maka hal ini tidak berlaku bagi Candi Pari. Untuk menuju bilik candi, sebelumnya akan ada sebuah bidang persegi (batur) yang menjorok keluar dari bawah pintu candi (hal ini juga dapat dilihat di Candi Ngetos dan Candi Bangkal). Dikanan dan kiri batur tersebut terdapat tangga dengan pipi tangga (tempat pegangan) dalam kondisi yang telah runtuh. Di beberapa sudut halaman candi juga terdapat reruntuhan batu bata, kemungkinan merupakan bekas pagar yang mengelilingi Candi Pari.
Di dalam bilik candi terdapat beberapa batu andesit, arca-arca dalam kondisi yang tak utuh serta beberapa balok kayu. Pada dinding bilik candi yang berhadapan dengan pintu masuk candi, terdapat sandaran arca dengan ukuran 6x6 meter. Mengingat besarnya sandaran arca, pasti besar pula arca yang menempati bilik Candi Pari ini. Namun, entah arca apa yang berada disana, mengingat arca tersebut tak pernah diketemukan.
2. Candi Sumur
Candi Sumur ini berlokasi di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, sekitar 100-200 m sebelah barat daya Candi Pari. Didirikan pada masa yang sama dengan Candi Pari, keduanya termasuk dalam cagar budaya di Kabupaten Sidoarjo. Menurut laporan J. Knebel dalam “Repporten Van De Comissie In Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek Op Java en Madoera” 1905-1906 Candi Sumur, juga Candi Pari, dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat/adik angkat dari salah satu putra Prabu Brawijaya dan istrinya yang menolak tinggal di keraton Majapahit di kala itu. Saat ini candi dalam keadaan rusak, tinggal sisa dari bagian dinding sebelah timur dan selatan, beserta lantai dan fondasi bangunan. Candi Sumur ini diperkirakan dibangun bersamaan dengan Candi Pari, dan seperti halnya Candi Pari, Candi Sumur juga terbentuk dari susunan bata merah. Pada bangunan candi ini juga tidak ditemukan ukiran atau relief-relief yang mendhias dinding atau kaki candi. Bentuk unik hanya terlihat dari susunan anak tangga yang berada di sisi selatan candi. Anak tangga ini cukup "curam" dan tidak memiliki dinding tangga di bagian sisinya, sehingga perlu perhatian bila pengunjung ingin menaikinya dikarenakan bata penyusun anak tangga atau tempat berpijak kaki itu sendiri tidak tersusun rata dan rapi. Berbeda dengan Candi Pari yang memiliki ukuran jauh lebih besar, ukuran Candi Sumur lebih kecil, kira-kira hanya setengah dari Candi Pari, dan hanya berhasil dipugar separuhnya. Banyak bata penyusun yang hilang tidak diganti. Kemungkinan besar tidak diketemukannya sisa-sisa batu pembentuk dinding candi, dan tidak adanya informasi yang bisa dijadikan sebagai referensi bentuk asal dari candi tersebut menyebabkan Candi Sumur ini direstorasi seperti apa yang bisa kita lihat sekarang. Untuk menghindari dari runtuhnya sisa dinding candi, pada bagian dalam dibangun kerangka dari semen yang berfungsi sebagai penopang dan pengikat susunan badan candi yang masih ada.
1. Candi Pari
Candi Pari merupakan sebuah peninggalan Masa Klasik Sidoarjo, Candi Pari ini berlokasi di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Candi tersebut berada sekitar 2 km ke arah barat laut pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas saat ini. Candi ini berada Candi ini merupakan suatu bangunan persegi empat dari batu bata, menghadap ke barat dengan ambang serta tutup gerbang dari batu andesit. Dahulu, di atas gerbang ada batu dengan angka tahun 1293 Saka = 1371 Masehi. Merupakan peninggalan zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk 1350-1389 M. Menurut Laporan J. Knebel dalam “Rapporten Van De Comissie In Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek Op Java en Madoera” 1905-1906 Candi Pari dan Candi Sumur dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat/adik angkat dari salah satu putra Prabu Brawijaya dan istrinya yang menolak tinggal di keraton Majapahit di kala itu.
Candi Pari ini memiliki tinggi 15,40 meter, panjang 16 meter dan lebar 14,10 meter. Candi Pari bisa dibilang masih memiliki bentuk yang utuh, kaki dan badan candi masih ada hanya sebagain atap candi sudah tidak ada. Candi Pari minim sekali akan hiasan atau relief. Hiasan yang ada hanya miniatur candi yang menjorok keluar dari badan candi. Di atas miniatur candi ini terdapat hiasan berupa teratai. Di kanan-kiri miniatur candi ini terdapat lubang angin yang langsung tembus ke dalam bilik candi. Pada bagian atap candi sebenarnya ada hiasan binatang, namun sekarang sudah dalam kondisi yang aus. Keunikan lainnya mengenai Candi Pari selain bentuknya yang tambun adalah tangga pintu masuk. Jika candi-candi lainnya memiliki tangga masuk yang langsung menuju bilik candi, maka hal ini tidak berlaku bagi Candi Pari. Untuk menuju bilik candi, sebelumnya akan ada sebuah bidang persegi (batur) yang menjorok keluar dari bawah pintu candi (hal ini juga dapat dilihat di Candi Ngetos dan Candi Bangkal). Dikanan dan kiri batur tersebut terdapat tangga dengan pipi tangga (tempat pegangan) dalam kondisi yang telah runtuh. Di beberapa sudut halaman candi juga terdapat reruntuhan batu bata, kemungkinan merupakan bekas pagar yang mengelilingi Candi Pari.
Di dalam bilik candi terdapat beberapa batu andesit, arca-arca dalam kondisi yang tak utuh serta beberapa balok kayu. Pada dinding bilik candi yang berhadapan dengan pintu masuk candi, terdapat sandaran arca dengan ukuran 6x6 meter. Mengingat besarnya sandaran arca, pasti besar pula arca yang menempati bilik Candi Pari ini. Namun, entah arca apa yang berada disana, mengingat arca tersebut tak pernah diketemukan.
Candi Sumur ini berlokasi di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, sekitar 100-200 m sebelah barat daya Candi Pari. Didirikan pada masa yang sama dengan Candi Pari, keduanya termasuk dalam cagar budaya di Kabupaten Sidoarjo. Menurut laporan J. Knebel dalam “Repporten Van De Comissie In Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig Onderzoek Op Java en Madoera” 1905-1906 Candi Sumur, juga Candi Pari, dibangun untuk mengenang tempat hilangnya seorang sahabat/adik angkat dari salah satu putra Prabu Brawijaya dan istrinya yang menolak tinggal di keraton Majapahit di kala itu. Saat ini candi dalam keadaan rusak, tinggal sisa dari bagian dinding sebelah timur dan selatan, beserta lantai dan fondasi bangunan. Candi Sumur ini diperkirakan dibangun bersamaan dengan Candi Pari, dan seperti halnya Candi Pari, Candi Sumur juga terbentuk dari susunan bata merah. Pada bangunan candi ini juga tidak ditemukan ukiran atau relief-relief yang mendhias dinding atau kaki candi. Bentuk unik hanya terlihat dari susunan anak tangga yang berada di sisi selatan candi. Anak tangga ini cukup "curam" dan tidak memiliki dinding tangga di bagian sisinya, sehingga perlu perhatian bila pengunjung ingin menaikinya dikarenakan bata penyusun anak tangga atau tempat berpijak kaki itu sendiri tidak tersusun rata dan rapi. Berbeda dengan Candi Pari yang memiliki ukuran jauh lebih besar, ukuran Candi Sumur lebih kecil, kira-kira hanya setengah dari Candi Pari, dan hanya berhasil dipugar separuhnya. Banyak bata penyusun yang hilang tidak diganti. Kemungkinan besar tidak diketemukannya sisa-sisa batu pembentuk dinding candi, dan tidak adanya informasi yang bisa dijadikan sebagai referensi bentuk asal dari candi tersebut menyebabkan Candi Sumur ini direstorasi seperti apa yang bisa kita lihat sekarang. Untuk menghindari dari runtuhnya sisa dinding candi, pada bagian dalam dibangun kerangka dari semen yang berfungsi sebagai penopang dan pengikat susunan badan candi yang masih ada.
3. Candi Pamotan I
Candi Pamotan I ini berlokasi di Desa Pamotan, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, kata Pamotan biasa di pakai sebagai gelar jabatan yang di berikan kepada salah seorang keluarga majapahit. Penyandang gelar pamotan berkuasa atas daerah pamotan sebagai raja muda atau penguasa daerah. Oleh karena itu Pamotan merupakan negara daerah yang sangat penting pada zaman Kerajaan Majapahit. Kekuasaan atas daerah itu selalu di rangkap oleh tokoh yang sudah memegang kekuasaan atas negara daerah lain. Contohnya adalah Bhre Pamotan I, yakni Wijaya Rajasa yang juga bergelar Bhre Wengker. Namun demikian apakah bisa diartikan bahwa candi pamotan merupakan salah satu peninggalan kerajaan mojopahit .hal itu masih merupakan dugaan yang kebenaranya masih harus di teliti secara Arkeologis (Ilmu Purbakala). Berbeda dengan Candi Pari dan Candi Sumur Candi Pamotan ini berukuran panjang : 4,8 m Lebar 4,8 m dan Tinggi 2,5 m, lokasinya tidak jauh dari Candi Pari dan Candi Sumur di Desa Candi Pari, Candi Pamotan ini jauh lebih sederhana.
4. Candi Pamotan II
Candi Pamotan II ini berjarak 50 m dari Candi Pamotan I juga terletak di Desa Pamotan, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Candi ini berupa tumpukan batu bata mirip candi. Dikelilingi hutan bambu, suasana di situ
terasa teduh, sejuk, gelap, dan dipercaya mengandung kekuatan supranatural.
Candi itu belum punya nama, sehingga gampangnya disebut Candi Pamotan II. Tapi
orang-orang biasa menyebut tempat keramat. Di samping candi penuh lumut hijau ini ada sebuah arca yang kepalanya
sudah hilang. Beberapa waktu lalu, katanya, kawasan itu dikunjungi pemerintah
baik dari Dinas Pariwisata Sidoarjo maupun Dinas Purbakala. Semua sepakat bahwa
Candi Pamotan II merupakan bangunan cagar budaya seperti Candi Pamotan I di
sebelahnya. Warga Desa Pamotan cukup menghormati barang-barang bernilai sejarah, sampai
sekarang tidak ada orang Pamotan yang merusak, apalagi mencuri batu bata itu. Candi Pamotan I dan Candi Pamotan II tak terurus membuat situs penting ini belum menjadi objek kunjungan masyarakat. Jangankan warga luar Sidoarjo, warga di kawasan Candi Pamotan pun belum tahu lokasi persisnya.
Candi Dermo adalah salah satu candi yang dibangun pada Masa Kerajaan Majapahit, pada wangsa Raja Hayam Wuruk. Candi bercorak hindu ini berdiri pada tahun 1353 dibawah Pimpinan Adipati Terung yang sekarang makamnya terdapat di Utara Masjid Trowulan. Candi Dermo ini terletak di Desa Candi Negoro, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Candi ini termasuk salah satu kompleks candi yang dibangun oleh Kerajaan Majapahit sebagai bukti akan luasnya daerah kekuasaan yang dimiliki. Candi ini sebenarnya merupakan Gapura atau Pintu Gerbang, orang Jawa mengatakan Gapura Ke Bangunan Suci. Arti dari Bangunan suci sendiri adalah bangunan induk yang biasanya terletak di sebelah timur candi. Begitupula dengan Candi Dermo, sebenarnya dahulu di sebelah timur Candi ada bangunan induk yang ukurannya lebih besar, namun sekarang bangunan induk tersebut sudah pupus dimakan waktu dan akhirnya roboh. Oleh masyarakat jaman dulu, lahan puing-puing bangunan induk tersebut dijadikan pemukiman oleh warga sekitar. Keadaan Candi kini sudah mulai rapuh, banyak puing-puing yang runtuh sehingga menyebabkan candi mulai tak terbentuk. Meskipun begitu, masih ada beberapa relief candi yang masih utuh di sisi bagian samping kanan dan kiri, namun beberapa yang ada di puncak sudah tak terbentuk karena banyak batu bata yang rapu dan runtuh. Pada kompleks candi Dermo, terdapat 4 buah Arca dengan 2 macam jenis, yakni Arca Manusia Bersayap dan Arca Kolo. Namun sayangnya, sekarang salah satu dari arca-arca tersebut ada yang sudah hancur, sehingga kini Candi Dermo hanya memiliki 3 Arca saja, sedangkan pemugaran masih dilakukan selama 2 kali sekitar tahun 1905-1914, itupun pada masa Penjajahan Belanda, sehingga sebagian badan candi sudah direnovasi. Candi ini tak begitu luas. Bangunan candi dengan tinggi 11.05 m, panjang 10.84 m dan lebar 10.77 ini memiliki luas halaman sekitar 22 m x 20 m dengan sebuah pos kecil di pelataran depan. Tak ada tempat parkir disana, bahkan jalan menuju candi inipun begitu kecil dan sempit, sehingga hanya dapat menampung kendaraan dengan jumlah terbatas, itupun dengan diparkir di halaman rumah warga sekitar kawasan candi.
6. Candi Tawang Alun
Candi Tawang Alun, Tapi ada juga yang biasa menyebutnya Sumur Windu. Candi Tawang Alun merupakan salah satu candi peninggalan kerajaan Majapahit saat pemerintahan Prabu Brawijaya II. Candi ini terletak di Desa Buncitan Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Mungkin jika dilihat dari gambar maupun secara kasat mata serasa tidak sebegitu menarik di banding dengan candi lain pada umumnya, Namun apabila diamati secara detail nampak adanya tatanan arsitektur candi atau bangunan religius pada masa lalu. Untuk menemukan kawasan candi yang satu ini memang terbilang sedikit susah. Karena masyarakat sekitarpun jarang yang mengetahui tentang adanya Candi Tawang Alun. Dalam perjalanan menuju Candi Tawang Alun anda akan melihat banyak banyak tambak dan yang sebetulnya di dalam tambak itu ada banyak tatanan batu–batu petilasan. Ketika memasuki kawasan Candi Tawang Alun pengunjung juga akan disambut oleh bau belerang yang sedikit terasa di hidung. Karena tanah lokasi candi Tawang Alun berada diatas gunung kecil yang mengeluarkan lumpur panas, air panas dan uap air panasnya mirip lava gunung berapi. Candi Tawang Alun sampai saat ini di fungsikan oleh warga sekitar untuk ritual-ritual pengantin, hari-hari besar dan di setiap malam bulan purmana banyak seniman-seniman yang datang ke sekitar candi ini untuk menenangkan diri dan mencari inspirasi ‘kata Pak Saiful sebagai juru kunci yang sekaligus seorang seniman. Banyak kejadian-kejadian aneh yang terjadi di candi ini diantaranya ada warga sekitar yang mengambil beberapa batu besar candi untuk di jadikan rumah, beberapa malam kemudian orang tersebut bermimpi di pukuli orang ke esokan harinya orang tersebut merasa badannya sakit-sakit semua dan tak lama kemudian orang tersebut mengembalikan batu besar yang diambilnya ke tempat semula. Selang beberapa hari kemudian orang tersebut meninggal dunia. Adapula cerita dari pak Saiful yang perna di hampiri seorang putri yang memakai baju hijau yang khas dengan baju kerajaan pada zaman dulu. Dan masih banyak hal-hal aneh yang terjadi.
Para sahabat
semua, inilah sedikit tulisan saya tentang Situs dan Cagar Budaya di
Sidoarjo, dengan latar belakang sejarah yang saya dapat dari berbagai
sumber. Sebenarnya masih banyak lagi situs-situs lain yang belum saya muat
disini seperti Candi Medalem, Candi Wangkal, Situs Watu Tulis
(Petilasan Watu Tulis), Situs Pelawangan Suwaluh, Situs Terung atau
lebih populer dengan sebutan Candi Terung, dan baru-baru ini ditemukan
yaitu Situs Sumur Agung di Desa Urangagung Kecamatan Sidoarjo, dan mungkin
masih banyak lagi candi maupun situs-situs lain yang masih terkubur di bumi
Sidoarjo (belum diketemukan). Candi maupun situs-situs di
Sidoarjo termasuk salah satu peninggalan jejak masa lampau yang harus dijaga
dan dilestarikan, maka dari itu mari kita ikut serta membantu melestarikannya
agar peninggalan masa lampau dapat terjaga dan abadi, sehingga anak cucu kita
dapat menikmatinya nanti. Semoga damai selalu, rahayu mulyaning jagat.
|
Senin, 19 Juni 2017
Jabon Kaya dengan Bangunan Etnik Klasik
Bangunan Etnik Klasik di Jabon
Berbicara tentang bangunan etnik klasik di Jabon terdapat
beberapa gaya arsitektur etnik yaitu etnik kolonial Belanda, etnik timur
tengah (Arab) bahkan etnik China. Paling mudah untuk melihat
bangunan bergaya etnik kolonial Belanda yaitu dengan melihat rumah pompa Jabon,
bangunan ini dibangun pada tahun 1920 seperti yang terterah pada dinding gewel
depan, untuk melihat bangunan klasik etnik kolonial Belanda
lainnya yaitu di desa Pejarakan selatan. Sedangkan bangunan etnik timur tengah (Arab) bahkan etnik
China yaitu di Kauman, Magersari, Kawatan (desa Kedung Cangkring) dan di desa
Jemirahan. Desa-desa tersebut pada tahun 1800an sudah ada, dilihat dari tata letak
dan bangunan rumah, gapura, pagar dan tiang listrik kuno, sudah dapat diduga
bahwa desa Pejarakan dan Kedung Cangkring merupakan ”Kota Tua” di Sidoarjo.
Rumah-rumah di Pejarakan dan Kedung Cangkring, telah berdiri
berdempet-dempetan, yang mengisaratkan, bahwa sebelum Sidoarjo,
di Pejarakan dan Kedung Cangkring, peradaban telah lahir lebih dulu.
Kedung Cangkring menjadi pusat ekonomi atau perdagangan karena letaknya yang
dekat dengan kali porong, sebuah jalur transportasi zaman dulu. Dari bangunan
etnik klasik tersebut memang telah ada beberapa kali mengalami
renovasi, tapi sisi arsitekturnya masih terkesan bergaya etnik kolonial
Belanda, etnik timur tengah (Arab) bahkan etnik China. Dari beberapa bangunan yang ada mungkin sengaja dibiarkan saja oleh pemiliknya dan terbengkalai bahkan dialihfungsikan yang
semula sebagai rumah tinggal menjadi tempat usaha seperti toko, warung, garasi
mobil dan sarang burung walet sehingga banyak ornamen-ornamen arsitektur khas
etniknya dirusak atau dihilangkan oleh pemiliknya. Dan juga setahu saya,
di rumah etnik klasik dan bangunan lainya tertulis
angka tahun pembuatan yang bervariasi mulai
tahun 1910an sampai dengan tahun 1920an tertera pada
dinding gewel depan, lisplank teras dan pagar gapura pintu masuk rumah.
Latar
belakang
Gaya Arsitektur
Kolonial Belanda sebenarnya
dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW. Daendels yang memiliki ciri
khas gaya kebudayaan Belanda. Jenderal
HW. Daendels datang ke Hindia Belanda (Indonesia) sekitar tahun 1800an. Sehingga memberi
pengaruh besar pada pembangunan gedung pemerintahan seperti perkantoran,
gedung sekolah, stasiun kereta api, pabrik gula, rumah dinas pemerintah, rumah
petinggi dan pasar di Jawa. Keberadaan
bangunan berarsitektur kolonial ini merupakan salah satu konsep perencanaan
kota kolonial yang dibangun oleh Hindia Belanda yaitu perpaduan model bangunan
Belanda dengan teknologi bangunan daerah tropis. Model bangunan
berarsitektur Kolonial ini memiliki kekhasan bentuk bangunan terutama pada
fasade bangunannya. Diantara ciri-ciri bangunan Kolonial yaitu:
1. Penggunaan
gewel (gable) pada fasade bangunan yang biasanya berbentuk segitiga.
2. Penggunaan
tower pada bangunan.
3. Penggunaan
dormer pada atap bangunan yaitu model jendela atau bukaan lain yang letaknya di
atap dan mempunyai atap tersendiri.
4.
Model denah yang simetris dengan satu lantai atas.
5.
Model atap yang terbuka dan kemiringan tajam.
6.
Mempunyai pilar di serambi depan dan belakang yang menjulang ke atas bergaya
Yunani.
7.
Penggunaan skala bangunan yang tinggi sehingga berkesan megah.
8.
Model jendela yang lebar dan berbentuk kupu tarung (dengan dua daun jendela),
dan tanpa overstek (sosoran).
Gaya Arsitektur Timur Tengah (Arab) dan gaya Arsitektur
China dipengaruhi oleh masuknya agama dan budaya Islam, begitu juga budaya China ke Indonesia, adanya hubungan perdagangan
Asia kuno, yang dilakukan oleh bangsa China dan India,
yang mendorong pedagang lainnya seperti pedagang dari Arab, Persia,
Gujarat untuk ikut serta dalam hubungan perdagangan tersebut. Hal itu
menyebabkan kota-kota pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat transit
ramai dikunjungi orang, sehingga dapat berkembang menjadi pusat-pusat
perdagangan dunia. Dari hubungan perdagangan tersebut, mereka dapat saling
mengenal budaya yang dibawa oleh masing-masing pedagang yang dapat dilihat
dari bahasa, barang dagangan yang dibawa maupun dari corak hidup. Untuk
itu banyak pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang menetap dan
menikah dengan penduduk setempat, sehingga budaya Islam dan agama
Islam dapat dengan mudah disebarkan di berbagai wilayah Indonesia melalui pendekatan
budaya. Sehingga memberi pengaruh besar pada bentuk gaya arsektektur
tempat tinggal maupun tempat usaha. Sehingga pemerintah Hindia Belanda
pada waktu itu membuat konsep perencanaan kota dengan membagi atau
mengelompokkan zona tempat hunian dari masing-masing etnis yaitu untuk etnis
Arab di beri kawasan lingkungan Kauman sedangkan etnis China kawasan lingkungan
Pecinan.
ciri-ciri
bangunan timur tengah yaitu:
1. Pada
tembok dan gewel fasade depan terdapat ukiran-ukiran berbentuk bunga dan
tulisan arab.
2. Bangunan
yang berbentuk kubah diindentivikasikan sebagai bangunan mesjid.
3. Banyak
terdapat unsur lengkung pada bangunan.
4. Bangunan
umum nya berbentuk persegi.
5. Motiv
pada keramik lantai seperti bunga dan mozaik.
6. Adanya
tralis dan kaca patri pada jendela.
7. Banyak
terdapat Kisi-kisi
8. Pintu
yang lebar dan tinggi dilengkapi dengan ukiran-ukiran.
9. Adanya
taman ditengah-tengah bangunan yang dilengkapi dengan kolam yang membelah
taman.
Sedangkan
ciri-ciri bangunan etnik China yaitu:
1. Courtyard.
2. Penekanan pada bentuk atap yang khas (memiliki ornamen yang disetiap ujung
maupun ditengah bubungan genteng).
3. Elemem-elemen struktural yang terbuka (kadang-kadang disertai dengan ornamen
ragam hias).
4. Mempunyai pilar besar (bulat) dan penuh dengan ukiran dan ornamen.
5. Pintu,
jendela yang lebar dan tinggi dilengkapi dengan ukiran-ukiran.
6. Penggunaan warna yang khas.
Bentuk
arsitektur bergaya etnik kolonial Belanda, etnik timur tengah
(Arab) dan etnik China di Jabon sesudah tahun 1800 merupakan bentuk
perpaduan yang spesifik, dan pemukiman atau bangunan tersebut sudah ada.
Bentuk bangunan etnik tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern
yang berkembang di kota-kota besar yang di Jawa Timur seperti Surabaya,
Sidoarjo, Pasuruan, Bangil, Gempol dan Porong pada waktu yang bersamaan dengan
penyesuaian iklim tropis basah Jabon. Ada juga beberapa bangunan arsitektur
etnik tersebut yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat yang kemudian
diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur
etnik di Jabon tersebut adalah suatu bentuk khas yang berlainan dengan
arsitektur modern yang ada di Belanda, Timur tengah (Arab) maupun
China sendiri.
Berikut
ini akan saya sertakan foto-foto bangunan etnik klasik tahun 1910an sampai
dengan tahun 1920an di Jabon dan sekitarnya.
1. Rumah Pompa Jabon (P.S.Djabon)
Tampak bagian depan rumah pompa Jabon. Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Tampak bagian samping rumah pompa Jabon. Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Tampak rumah pompa Jabon dan pintu air tersier. |
Tampak bagian mesin pompa (roda besi) rumah pompa Jabon. |
2. Rumah
Warga di Pejarakan Selatan
Rumah
warga di Pejarakan selatan ini tahun pembuatannya bervariasi mulai tahun 1910an sampai
dengan tahun 1920an yang tertera pada dinding gewel (gable) depan
dan bentuk gewelnya penuh dengan ornamen maupun mainan bentuk yang bermotiv
kuncup bunga dsb. Bentuk kolom teras dan selasar bulat dan simetris, kolom
persegi dan bulat dengan dimensi yang besar dihiasi ornamen garis-garis dan
bermotiv, bentuk lisplank ukiran kayu maupun bertekstur. Dari identifikasi
diatas jelas bahwa bangunan tersebut bergaya etnik klasik dan perpaduan antara
gaya arsitektur etnik kolonial Belanda, etnik timur tengah (Arab) dan
etnik China.
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Tidak adanya halaman rumah maupun garis sempadan bangunan. Tampak salah satu rumah dengan pagar yang langsung perbatasan dengan jalan umum. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur etnik Belanda dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. Tampak bangunan sudah dialih fungsikan oleh pemiliknya. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. Tampak bangunan sudah dialih fungsikan oleh pemiliknya. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
3. Rumah warga di Kauman, Magersari, Kawatan (Desa Kedung Cangkring)
Desa Kedung Cangkring ini diperkirakan sudah ada pada tahun 1800an, dilihat dari tata
letak dan bangunan rumah, gapura, pagar dan tiang listrik kuno, sudah dapat
diduga bahwa desa Kedung Cangkring merupakan ”Kota Tua” di Sidoarjo.
Rumah-rumah di Kedung Cangkring, telah berdiri
berdempet-dempetan, yang mengisaratkan, bahwa sebelum Sidoarjo, Kedung
Cangkring, peradaban telah lahir lebih dulu. Kedung Cangkring menjadi
pusat ekonomi atau perdagangan karena letaknya yang dekat dengan kali porong,
sebuah jalur transportasi zaman dulu. Dari bangunan
etnik klasik tersebut memang telah ada beberapa kali mengalami
renovasi, tapi sisi arsitekturnya masih terkesan bergaya etnik kolonial
belanda, etnik timur tengah (Arab) bahkan etnik China. Dan juga setahu saya,
di rumah etnik klasik dan bangunan lainya tertulis
angka tahun pembuatan yang bervariasi mulai
tahun 1910an sampai dengan tahun 1920an tertera pada
dinding gewel depan, lisplank teras dan pagar gapura pintu masuk rumah. Dari identifikasi diatas jelas bahwa bangunan
tersebut bergaya etnik klasik, perpaduan antara gaya arsitektur etnik kolonial
Belanda, etnik timur tengah (Arab) dan etnik China.
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Tidak adanya halaman rumah maupun garis sempadan bangunan. Tampak salah satu rumah dengan pagar yang langsung perbatasan dengan jalan umum. |
Kombinasi antara gaya arsitektur etnik kolonial belanda dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur etnik kolonial belanda dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik kolonial belanda, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Arab) dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. Tampak sepertinya rumah ini sudah mengalami renovasi. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Tidak adanya halaman rumah maupun garis sempadan bangunan. Tampak salah satu rumah dengan pagar yang langsung perbatasan dengan jalan umum. |
Tidak adanya halaman rumah maupun garis sempadan bangunan. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional dan menyesuaikan iklim setempat |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional modern dan menyesuaikan iklim setempat. |
Kombinasi antara gaya arsitektur kolonial dengan gaya lokal dengan mengambil elemen-elemen tradisional dan menyesuaikan iklim setempat |
Jarak antar rumah satu dengan yang lainnya berhimpitan. |
4. Rumah Warga dan Pasar (Simpang empat) Desa Jemirahan
Desa Jemirahan ini diperkirakan usianya tidak jauh dengan desa Kedung Cangkring dan Pejarakan, dilihat dari bentuk dan gaya arsitekturnya, tata letak bangunan rumah berdiri berdempet-dempetan. Seperti di simpang empat Jemirahan ini, dimana terdapat beberapa rumah klasik, bangunan pertokoan dan pasar tradisioanal. Sudah dapat diduga bahwa desa Jemirahan juga merupakan ”Kota Tua” di Sidoarjo, menjadi pusat ekonomi atau perdagangan. Bangunan tersebut memang telah ada beberapa kali mengalami renovasi, tapi sisi arsitekturnya masih terkesan bergaya etnik kolonial Belanda, etnik timur tengah (Arab) bahkan etnik China.
Kombinasi antara gaya arsitektur timur tengah (Persia/arab) dan etnik China, menyesuaikan dengan iklim setempat, Mengambil elemen-elemen tradisional dan diterapkan pada bentuk arsitektur. |
Simpang empat Jemirahan, Tampak jelas bahwa dulunya sebagai tempat keramaian dan pusat perdagangan. |
Simpang empat Jemirahan, Tampak jelas pusat perdagangan dimana banyak terdapat bangunan Pertokoan. |
Pasar tradisional (krempyeng) Jemirahan |
Para sahabat semua, inilah sedikit tulisan saya
tentang bangunan etnik klasik di Jabon, dengan latar
belakang sejarah yang umum-umum saja dan hanya saya contohkan bangunan yang ada
di sekitar tempat tinggal saya. Masih ada beberapa bangunan-bangunan klasik
bisa dikatakan juga bangunan tua dan bersejarah di Jabon dan sekitarnya.
Harapan saya, semoga bangunan-bangunan ini tidak tergerus oleh jaman, atau
roboh hanya karena dikalahkan oleh kepentingan ekonomi semata dan Vandalisme. Semoga
bisa bermanfaat.
Langganan:
Postingan (Atom)